Banjir. Kata ini selalu kita kaitkan dengan hujan. Hal ini kerap terjadi karena biasanya saat hujan turun sebagian
besar air akan meluap dan menimbulkan genangan ataupun banjir. Namun
sebaliknya, ketika musim kemarau sumber air banyak yang mengalami
kekeringan karena cadangan air tanah permukaan yang ada habis disedot
untuk keperluan rumah tangga dan industri. Inilah permasalahan terkait
sektor air khususnya di perkotaan yang harus diperhatikan. Salah satu
solusi konkret untuk masalah tersebut adalah dengan memperbaiki sistem
drainase perkotaan.
Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan
Drainase
didefinisikan sebagai pembuangan air permukaan, baik secara gravitasi
maupun dengan pompa dengan tujuan untuk mencegah terjadinya genangan,
menjaga dan menurunkan permukaan air sehingga genangan air dapat
dihindarkan. Drainase perkotaan berfungsi mengendalikan kelebihan air
permukaan sehingga tidak merugikan masyarakat dan dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Kelebihan air tersebut dapat berupa air
hujan, air limbah domestik maupun air limbah industri. Oleh karena itu
drainase perkotaan harus terpadu dengan sanitasi, sampah, pengendali
banjir kota dan lainnya.
Sebagaimana tergambar pada bagan
fasilitas penahan air hujan di atas, menurut Suripin (2009), berdasarkan fungsinya, terdapat dua pola yang
dipakai untuk menahan air hujan, yaitu:
• Pola detensi (menampung
air sementara), yaitu menampung dan menahan air limpasan permukaan
sementara untuk kemudian mengalirkannya ke badan air misalnya dengan
membuat kolam penampungan sementara untuk menjaga keseimbangan tata air.
•
Pola retensi (meresapkan), yaitu menampung dan menahan air limpasan
permukaan sementara sembari memberikan kesempatan air tersebut untuk
dapat meresap ke dalam tanah secara alami antara lain dengan membuat
bidang resapan (lahan resapan) untuk menunjang kegiatan konservasi air.
Pengembangan
permukiman di perkotaan yang demikian pesatnya justru makin mengurangi
daerah resapan air hujan karena luas daerah yang ditutupi oleh
perkerasan semakin meningkat dan waktu berkumpulnya air (time of
concentration) pun menjadi jauh lebih pendek sehingga pada akhirnya
akumulasi air hujan yang terkumpul melampaui kapasitas drainase yang
ada.
Banyak kawasan rendah yang semula berfungsi sebagai tempat
parkir air (retarding pond) dan bantaran sungai kini menjadi tempat
hunian. Kondisi ini akhirnya akan meningkatkan volume air permukaan yang
masuk ke saluran drainase dan sungai. Hal ini dapat dilihat dari air
yang meluap dari saluran drainase, baik di perkotaan maupun di
permukiman, yang menimbulkan genangan air atau bahkan banjir. Hal itu
terjadi karena selama ini drainase difungsikan untuk mengalirkan air
hujan yang berupa limpasan (run-off) secepat-cepatnya ke penerima
air/badan air terdekat.
Untuk mengatasi permasalahan
infrastruktur tersebut diperlukan sistem drainase yang berwawasan
lingkungan dengan prinsip dasar mengendalikan kelebihan air permukaan
sehingga dapat dialirkan secara terkendali dan lebih banyak memiliki
kesempatan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dimaksudkan agar
konservasi air tanah dapat berlangsung dengan baik dan dimensi struktur
bangunan sarana drainase dapat lebih efisien.
Menurut Agus Maryono (2010), pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan merupakan rangkaian usaha
dari sumber (hulu) sampai muara (hilir) untuk membuang/mengalirkan hujan
kelebihan melalui saluran drainase dan atau sungai ke badan air
(pantai/laut, danau, situ, waduk, dan bozem) dengan waktu seoptimal
mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan
banjir di dataran banjir yang dilalui oleh saluran dan atau sungai
tersebut (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu mencapai
debit puncak). Berbeda dengan prinsip lama, yaitu mengalirkan limpasan
air hujan ke badan air penerima secepatnya, drainase berwawasan
lingkungan bekerja dengan berupaya memperlambat aliran limpasan air
hujan.
Prinsipnya, air hujan yang jatuh ditahan dulu agar lebih
banyak yang meresap ke dalam tanah melalui bangunan resapan, baik buatan
maupun alamiah seperti kolam tandon, sumur-sumur resapan, biopori, dan
lain-lain. Hal ini dilakukan mengingat semakin minimnya persediaan air
tanah dan tingginya tingkat pengambilan air.
Pelestarian
prasarana dan sarana drainase mandiri berbasis masyarakat sangat
bergantung pada kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan,
memanfaatkan, dan memelihara prasarana dan sarana yang ada. Secara umum
aspek yang perlu diperhatikan dalam pelestarian adalah pengelolaan
prasarana dan sarana serta penyuluhan dan pedoman pemeliharaan yang
mengedepankan partisipasi masyarakat. Masyakarat dapat berperan dan
berpartisipasi dalam setiap tahapan perencanaan, pembangunan,
operasional dan pemeliharaan sistem jaringan drainase melalui beberapa
tahap, antara lain:
1. Tahap Survei dan Investigasi : masyarakat
dapat memberikan informasi calon lokasi yang akan dibangun dan kondisi
setempat seperti kelayakan dari segi teknis dan ekonomi.
2. Tahap
Perencanaan : masyarakat dapat ikut serta dalam persetujuan, kesepakatan
dan penggunaan dari perencanaan yang telah dibuat.
3. Tahap
Pembebasan Lahan : masyarakat memberi kemudahan dan memperlancar proses
pembebasan lahan apabila lahan masyarakat terkena dampak pembangunan.
4.
Tahap Pembangunan : masyarakat dapat ikut serta dalam pengawasan dan
terlibat dalam pelaksanaan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan.
5.
Tahap Operasi dan Pemeliharaan : masyarakat ikut serta aktif dalam
pemeliharan dan pengoperasian, melaporkan jika ada kerusakan.
6.
Tahap Monitoring dan Evaluasi : masyarakat dapat memberikan data yang
benar dan nyata sesuai dengan kondisi eksisting di lapangan terkait
segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek serta dampak
yang ditimbulkannya.
Cara paling efektif agar drainase berwawasan
lingkungan ini dapat berkelanjutan adalah peran serta masyarakat untuk
ikut aktif di dalam penerapan pelestarian air tanah karena jika
persediaan air tanah habis, merekalah yang paling merasakan akibatnya.
Masyarakat dapat berperan aktif untuk ikut menabung air melalui kolam
tandon penampung air hujan, berupa reservoir bawah tanah maupun dengan
tangki penampung yang berfungsi menampung dan mengalirkan air hujan yang
jatuh dari permukaan tanah, bangunan, juga atap rumah.
Sumur Resapan, Solusi Termurah
Sumur
resapan adalah salah satu solusi murah dan cepat untuk masalah banjir.
Umumnya sumur resapan berbentuk bundar dengan diameter minimal 1 meter.
Lubang galian sebelah atas sampai lapisan tanah relatif keras dan
bersemen agar dilindungi dengan bidang penahanan longsoran dinding sumur
(bisa dari bambu, pasangan bata, base beton atau drum). Kedalaman sumur
resapan relatif tergantung kondisi formasi batuan dan muka air tanah.
Untuk daerah yang muka air tanahnya dalam, kedalaman sumur resapan dapat
dibuat hingga mencapai 5 meter.
Idealnya dalam perencanaan
drainase di suatu wilayah perlu direncanakan adanya sumur resapan
sehingga dimensi saluran drainase dapat lebih diminimalkan. Untuk hasil
yang lebih maksimal, penggunaan sumur resapan dapat divariasikan dengan
bangunan drainase lainnya seperti kolam resapan. Upaya ini akan
berdampak besar bila semua masyarakat sadar dan mau menerapkannya.
Peran
sumur resapan tentu tidak akan berarti bila hanya beberapa rumah yang
menerapkannya. Bayangkan, bila setiap rumah memiliki sumur resapan yang
masing-masing mampu meresapkan air hujan sejumlah satu meter kubik dan
satu kawasan terdapat sepuluh ribu rumah maka akan didapatkan sepuluh
ribu meter kubik air yang dapat meresap ke tanah. Kawasan tersebut dapat
mengurangi limpasan permukaan yang akan membebani saluran drainase di
hilir dan mampu mengurangi masalah kekeringan pada musim kemarau karena
pada musim penghujan, mereka telah menabung air.
Pengembangan
prasarana dan sarana drainase berwawasan lingkungan ditujukan untuk
mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk
menahan air hujan sesuai dengan kaidah konservasi dan keseimbangan
lingkungan. Konsep inilah yang ingin mengubah paradigma lama dalam
pembangunan drainase khususnya di perkotaan.
sumber:
putaka.pu.go.id
No comments:
Post a Comment